Kamis, 23 Februari 2017

(Esai) Sosial Media dan Citra seorang Guru

Sosial Media dan Citra seorang Guru

   Masa kecil dengan segala penghidupanya memang sesalu memberikan sisi yang menarik untuk dijadikan cerita atau pun sekadar sebagai bayang angan-angan dalam kehidupan pendewasaan. Masa lalu yang begitu polos Dan lugunya, dimana hari demi hari hanya berisi macam-macam permainan. Bergaya layaknya Bapak Polisi Yang gagah berani, yang sedang mengerjar maling keliling desa. Mengumpulkan kaleng plastik kosong, lalu diselipkan antara ban sepeda dan besi pengaitnya. Berputar-putar bak anak Racing. Berkelahi sendiri dengan robot, bermesraan dengan boneka panda. Atau entah dengan pelbagai imajinasi lain yang melebihi doraemon mungkin.

   Begitulah narasi yang mungkin sedikit banyak dapat menggambarkan kehidupan anak-anak. Tak jauh berbeda dengan kisah kehidupanku sendiri sewaktu kecil. Apalagi sebagai anak yang sejak kecil tidak dekat oleh orang tuanya sendiri, ya Bapak berpulang saat usiaku masih dua tahun dan Ibu sejak saat itu bak pahlawan berjuang demi kehidupan di negeri sebrang. Tentunya dengan demikian hari-hari kecilku penuh dengan imajinasi tanpa pengawasan orang tua yang aku kasihi. Seorang anak kecil yang tumbuh diasuh oleh kakek dan nenek yang sudah tidak lagi muda tentunya sangat berpengaruh juga dalam kepribadianku. Nakal, membangkang, susah diatur seolah sudah melekat sebagai Citra anak yang dititipkan pada kakek dan nenek. Hal ini juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya kepada orang tua. Susahnya akses untuk berkomunikasi menjadi salah satu kendala bagi orang tua untuk memantau anaknya. Bahkan dulu saat Ibu ingin mendengar kabarku saja. aku harus mengantri di Wartel (Baca : warung yang menyediakan jasa komunikasi lewat telepon) dan itu juga uang yang dikirimkan Ibu sebagai biaya hidup satu Bulan habis untuk berbicara hanya sekitar 15-20 menit.

   Meskipun masa kecil begitu nakal dan sulit diaturnya aku masih memiliki imajinasi yang tinggi dan Alhamdulillah cenderung positif. Seperti halnya anak-anak lain. Saat diintrogasi gurunya perihal cita-cita aku masih memiliki angan-angan yang kuat untuk menjadi seorang guru. Memang kelihatanya tidak masuk akal. Anak yang setiap hari datang terlambat ke sekolahan, anak yang saban harinya tidak pernah memasukkan baju, anak yang pakai topi pramuka saat upacara hari senin. sekarang bercita-cita menjadi seorang guru. "Tidak sadar diri" mungkin itu yang ada dalam pikiran guru-guru saya dulu.

   Namun nampaknya imajinasi masa kecilku itu tidak hanya menjadi angan-angan yang selaku aku impikan saja. Pendewasaan sikap di masa MA dan juga banyaknya bimbingan-bimbingan keagamaan membuat jalan atau kisah hidupku berangsur berubah. Kedekatan dengan guru-guru semakin memantapkan cita-citaku untuk mencintai profesi itu. Hal lain yang ingin aku buktikan pada keyakinan dan kepercayaan hatiku juga dengan semakin mantapnya aku menempuh pendidikan keguruan. Menjadi seorang guru tentunya memiliki beban yang sangat berat. Selain dituntut untuk ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal paling utama peranan seorang guru yaitu membentuk kepribadian dan akhlak yang baik bagi siswanya. Seorang guru harus bisa menyelesaikan masalah yang sedang dialami oleh anak didiknya. Semisal saat salah seorang siswa sedang berselisis paham dengan siswa yang lainya seorang guru harus bisa menjadi hakim yang seadil-adilnya bagi mereka. Atau saat siswanya sedang asik pada dunia sehingga jauh pada tuhanya, disana seorang guru harus dapat menggantikan peranan pemuka agama dengan begitu bijak.

   Namun akhir-akhir ini karakter seorang guru yang seperti ini jarang kita dapati. Entah karena modernisasi atau perkembangan zaman yang begitu pesatnya hingga kepribadian luhur seorang guru perlahan-lahan hilang. Contoh saja dalam perkembangan Iptek. Memang sebagai seorang pengajar/pendidik guru harus melek Iptek. Perkembangan teknologi semestinya dapat dimanfaatkan oleh guru sebagai alat bantu dalam proses belajar mengajar seperti penggunaan Laptop sebagai media penyampaian materi. Namun agaknya tidak sedikit juga guru yang menyalah gunakan perkembangan teknologi ini. Batang tentu seperti yang kita lihat dalam sosial media. Banyak sekali guru yang mengunakan sosial media. Seperti Facebook, instagram, BBM dan lain sebagainya. Tak salah memang bila itu bertujuan untuk mendidik atau mengawasi siswanya lewat sosial media, akan tetapi akan menjadi hal yang tidak wajar apabila sosial media itu sendiri malah digunakan guru seperti yang digunakan siswanya sendiri. Seperti guru yang menulis status-status yang kurang baik. Mengunggah foto dengan kata-kata yang kurang mendidik seperti, senyum tipis-tipis, lagi galau, muka jelek. Atau masih banyak yang lain. Tentunya hal ini bukan menjadi hal yang baik bagi guru tetapi malah bisa memperburuk Citra guru itu sendiri. Alangkah baiknya jika sosial media kita gunakan sebagai wadah untuk dalaing menginspirasi dan memotivasi, memperbaiki Citra dan menjaga pribadi luhur seorang guru. Seperti halnya anak kecil yang bercita-cita menjadi seorang guru tadi. Guru juga harus mempunyanyi cita-cita untuk menjadi anak kecil dengan ketidakmungkinan yang ingin ia semogakan. Bismillah.

Oleh Singgih aji prasetyo. Mahasiswa fakultas pendidikan Bahasa dan Seni. Universitas PGRI Semarang.

Kamis, 16 Februari 2017

(Puisi)


Naik kereta Babi

Naik kereta babi... Tut... Tut... Tut
Siapa muka curut
Perut menggembung... Berbadan dua
Janjinya manis bagai gula
Ayo temanku para elit politik
Habiskan semua kita bergembira

Cepat jalankan babiku... Tut... Tut... Tut
Banyak penumpang gendut
Kandangku sudah sesak
Karena anggota terlalu banyak
Di sinilah istana kita
Tempat para penguasa