Rabu, 03 Oktober 2018

(Resensi) Gus Dur dan Gus Mus dalam Kacamata Kiai

Gus Dur dan Gus Mus dalam Kacamata Kiai
Oleh : Singgih Aji Prasetyo

Judul Buku      : Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus
Penulis             : K.H. Husein Muhammad
Penerbit           : Noura Books
Tahun Terbit    : 2015
Tebal               : 179 halaman
ISBN               : 978-602-385-009-9

            Ungkapan wong kang soleh kumpol ono (orang yang berakhlak soleh dekatilah) tentu sudah tak asing lagi bagi kita, apalagi bagi santri dan ulama yang hidup di lingkungan pesantren. Bukan tanpa alasan, setiap kali kita duduk dan berbincang bersama alim ulama,  hal-hal sederhana yang terlontar selalu membawa kedalaman makna dan pelajaran. Demikian lah kesan pertama yang akan kita rasakan ketika membaca tuturan percakapan antara Gus Mus, panggilan akrab dari K.H Ahmad Musthofa Bisri, dan K.H. Husein Muhammad. Apabila kita sebagai orang awam saja dapat mengambil pelajaran yang mendalam ketika berbincang dengan para ulama, tentu perlajaran tersebut akan lebih dalam lagi ketika ulama dengan ulama yang bercincang dan yang menjadi perbincangan juga ulama yaitu K.H. Abdurrahman Wahid, yang akrab kita sapa Gus Dur. Buku ini ditulis oleh Kiai Husein Muhammad dalam bentuk perenungan sepanjang percakapannya dengan Gus Mus, karena kedekatan beliau berdua (Gus Mus dan Kiai Husein Muhammad) dengan Gus Dur, maka gambaran Gus Dur yang muncul dalam percakapan pun terasa sangat nyata sebagai sosok manusia seutuhnya.
             Kepulangan dari guru kita K.H Abdulrahman Wahid memang telah lama, namun pemikiran, sikap, pengalaman, hingga humornya akan senantiasa terus hidup di benak semua orang. Sosok nyentrik ini memang sangat langka dan tak tertandingi. Dia bukan hanya seorang kiai yang piawai berdakwah dengan berbagai referensi dalil dan mantan ketua organisasi terbesar sedunia yaitu Naahdlatul Ulama, namun juga mantan Presiden RI, sosok guru bangsa, budayawan, intelektual, pembela kaum minoritas, juga seorang yang dianggap punya pabrik lelucon pemecah kebekuan. Dengan keluasan ilmu bagai samudra, serta keberaniannya dalam mengemukakan pendapat, Gus Dur kerap memicu kontrovesi terutama dengan orang yang tidak bisa memahami pemikirannya. Tuduhan Liberalis, antek Yahudi, bahkan Kafir kerap diterimanya baik dari individu ataupun dari kelompok yang gagal paham atas pemikiran dan sepakterjang Gus Dur. Sedangkan berbalik dengan itu para pengagum dari beliau sering kali menganggap Gus Dur adalah seorang Wali atau kekasih Tuhan.
            Buku Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus ini bukan hanya sekadar biografi dari orang yang biasa menggunakan jargon “gitu aja kok repot”, melainkan buku yang menceritakan kumpulan kisah dari sabahat terdekat Gus Dur, K.H. Ahmad Mustofha Bisri kepada K.H. Husein Muhammad. Sejatinya obralan yang terjadi antara keduanya hanya berlangsung sekitar satu jam, namun kepiawaian Gus Mus dalam menuturkan cerita serta kemahiran Kiai Husein Muhammad menafsirkan ke dalam bentuk tulisan, menjadikan buku ini tidak hanya menarik dalam sisi cerita namun juga sarat akan makna. Penggunaan gaya bahasa obrolannya ringan dan sederhana sehingga mudah untuk dipahami oleh pembaca.
            Gus Musa tau K.H. Musthofa Bisri adalah seorang pengasuh pondok pesantren besar di Rembang, Jawa Tengah serta Rais Syuriah PBNU. Keilmuan dan keluasan wawasan dalam beragama (islam) sudah tidak diragukan lagi. Ia juga dikenal sebagai guru bangsa, budayawan, ulama, penulis, penyair, dan pelukis. Gus Mus mungkin menjadi salah satu teman terdekat dari Gus Dur, kedekatan antara keduanya sudah terjalin sejak lama, lebih tepatnya ketika masih kuliah di Universitas Al-Azar, Mesir. Salah satu kedekatan antara mereka dapat pahami melalui cerita dari Gus Mus dalam buku ini, dikisahkan seminggu sebelum kepulangannya ke sang Khalik, Gus Dur secara khusus menyempatkan untuk berkunjung ke kediaman Gus Mus. Padahall kondisi kesehatan beliau saat itu sedang sakit. Seolah tau akan kepulangannya Gus Dur saat itu dengan kata-kata yang lirih dan bijak menitipkan Nahdatul Ulama kepada Gus Mus. “rencananya mampir ke sini hanya sebentar, eh jebulane (ternyata) sama kira-kira dua jam. Gus Dur tampak begitu sehat dan bergairah, meski konon masih dalam keadaan sakit” ujar Gus Mus dalam bercerita (hal 1-17).
            Memperbincangkan sosok Gus Dur tentu tidak akan gayeng tanpa mendaras kisah-kisahnya yang unik maupun perilakunya yang terkesan ganjil mengundang tawa. Namun humor cucu pendiri NU, Hadharatus Syaikh Hasyim Asyari, ini tentu bukan humor biasa, melainkan humor seorang jenius yang selalu menyiratkan makna. Salah satunya humor Gus Dur ketika menjawab persoalan gagasan Negara Islam. Sekitar tahun 1970-1980-an, Gus Dur diundang oleh Arief Budiman, sosiolog dan tokoh golput termasyhur era Orde Baru, menjadi pembicara utama dalam perbincangan ilmiah yang membahas tema seputar hubungan Islam dengan negara, kebangsaan, dan demokrasi. Seperti biasa, Gus Dur tampil dengan pemikiran-pemikirannya yang brilian. Satu per satu konsep yang pernah ada, pernah dibicarakan para pemikir dan cendekiawan Muslim dunia diurainya secara lugas disertai dengan penyampaian kekuarangan dan kelebihan masing-masing. Sayangnya, uraian Gus Dur berakhir dengan kesimpulan yang tidak memuaskan para peserta seminar.
Kebingungan yang dipuncaki oleh sebuah pertanyaan penting kepada Gus Dur “Adakah konsep atau sistem dan bentuk negara menurut Islam ?” Ditodong dengan pertanyaan demikian, Gus Dur bukannya bingung, dengan santai ia menjawab “Itu yang belum aku rumuskan”. (Halaman 82) Bagi sebagian orang, jawaban tersebut mungkin dianggap hanya sebatas candaan. Namun menurut kacamata kiai Husein jawaban tersebut sangat diplomatis. Gus Dur boleh jadi hendak mengatakan bahwa Islam tidak punya konsep politik dan kenegaraan. Islam hanyalah mengajukan nilai-nilai yang menjadi ruh dari seluruh sistem sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan.
Gus Dur dan Gus Mus adalah dua figur unik yang lahir dari rahim pesantren tradisional. Keduanya, meski dikenal sebagai tokoh agama yang mumpuni namun tidak membatasi diri terhadap aktivitas, yang bagi sebagian orang dianggap, di luar dunia pesantren. Interaksi mereka dengan berbagai lapisan masyarakat, komunitas, etnis dan agama secara langsung mampu memperkenalkan kultur dan identitas pesantren kepada masyarakat secara lebih luas. Demikian pula dengan kiai Husein, penulis buku setebal seratus tujuh puluh sembilan halaman ini. Meski tidak mengenakan gelar “Gus”, namun lelaki asal Cirebon ini berasal dari kultur yang sama dengan dua Gus di atas. Kiprahnya dalam penyadaraan kesetaraan gender sudah dikenal luas di Indonesia, bahkan dunia.


Singgih Aji Prasetyo, penggagas kelompok kerja Teater Plat-K. Mahasiswa Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang.