Gus Dur dan Gus Mus dalam Kacamata
Kiai
Oleh
: Singgih Aji Prasetyo
Judul
Buku : Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus
Penulis : K.H. Husein Muhammad
Penerbit : Noura Books
Tahun
Terbit : 2015
Tebal :
179 halaman
ISBN : 978-602-385-009-9
Ungkapan wong kang soleh kumpol ono (orang yang berakhlak soleh dekatilah)
tentu sudah tak asing lagi bagi kita, apalagi bagi santri dan ulama yang hidup
di lingkungan pesantren. Bukan tanpa alasan, setiap kali kita duduk dan berbincang
bersama alim ulama, hal-hal sederhana
yang terlontar selalu membawa kedalaman makna dan pelajaran. Demikian lah kesan
pertama yang akan kita rasakan ketika membaca tuturan percakapan antara Gus
Mus, panggilan akrab dari K.H Ahmad Musthofa Bisri, dan K.H. Husein Muhammad. Apabila
kita sebagai orang awam saja dapat mengambil pelajaran yang mendalam ketika
berbincang dengan para ulama, tentu perlajaran tersebut akan lebih dalam lagi
ketika ulama dengan ulama yang bercincang dan yang menjadi perbincangan juga
ulama yaitu K.H. Abdurrahman Wahid, yang akrab kita sapa Gus Dur. Buku ini
ditulis oleh Kiai Husein Muhammad dalam bentuk perenungan sepanjang
percakapannya dengan Gus Mus, karena kedekatan beliau berdua (Gus Mus dan Kiai
Husein Muhammad) dengan Gus Dur, maka gambaran Gus Dur yang muncul dalam
percakapan pun terasa sangat nyata sebagai sosok manusia seutuhnya.
Kepulangan dari guru kita K.H Abdulrahman
Wahid memang telah lama, namun pemikiran, sikap, pengalaman, hingga humornya
akan senantiasa terus hidup di benak semua orang. Sosok nyentrik ini memang
sangat langka dan tak tertandingi. Dia bukan hanya seorang kiai yang piawai
berdakwah dengan berbagai referensi dalil dan mantan ketua organisasi terbesar
sedunia yaitu Naahdlatul Ulama, namun juga mantan Presiden RI, sosok guru bangsa,
budayawan, intelektual, pembela kaum minoritas, juga seorang yang dianggap
punya pabrik lelucon pemecah kebekuan. Dengan keluasan ilmu bagai samudra,
serta keberaniannya dalam mengemukakan pendapat, Gus Dur kerap memicu
kontrovesi terutama dengan orang yang tidak bisa memahami pemikirannya. Tuduhan
Liberalis, antek Yahudi, bahkan Kafir kerap diterimanya baik dari individu
ataupun dari kelompok yang gagal paham atas pemikiran dan sepakterjang Gus Dur.
Sedangkan berbalik dengan itu para pengagum dari beliau sering kali menganggap
Gus Dur adalah seorang Wali atau kekasih Tuhan.
Buku Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus
ini bukan hanya sekadar biografi dari orang yang biasa menggunakan jargon “gitu
aja kok repot”, melainkan buku yang menceritakan kumpulan kisah dari sabahat terdekat
Gus Dur, K.H. Ahmad Mustofha Bisri kepada K.H. Husein Muhammad. Sejatinya obralan
yang terjadi antara keduanya hanya berlangsung sekitar satu jam, namun kepiawaian
Gus Mus dalam menuturkan cerita serta kemahiran Kiai Husein Muhammad menafsirkan
ke dalam bentuk tulisan, menjadikan buku ini tidak hanya menarik dalam sisi
cerita namun juga sarat akan makna. Penggunaan gaya bahasa obrolannya ringan
dan sederhana sehingga mudah untuk dipahami oleh pembaca.
Gus Musa tau K.H. Musthofa Bisri
adalah seorang pengasuh pondok pesantren besar di Rembang, Jawa Tengah serta
Rais Syuriah PBNU. Keilmuan dan keluasan wawasan dalam beragama (islam) sudah
tidak diragukan lagi. Ia juga dikenal sebagai guru bangsa, budayawan, ulama,
penulis, penyair, dan pelukis. Gus Mus mungkin menjadi salah satu teman
terdekat dari Gus Dur, kedekatan antara keduanya sudah terjalin sejak lama,
lebih tepatnya ketika masih kuliah di Universitas Al-Azar, Mesir. Salah satu
kedekatan antara mereka dapat pahami melalui cerita dari Gus Mus dalam buku
ini, dikisahkan seminggu sebelum kepulangannya ke sang Khalik, Gus Dur secara
khusus menyempatkan untuk berkunjung ke kediaman Gus Mus. Padahall kondisi
kesehatan beliau saat itu sedang sakit. Seolah tau akan kepulangannya Gus Dur
saat itu dengan kata-kata yang lirih dan bijak menitipkan Nahdatul Ulama kepada
Gus Mus. “rencananya mampir ke sini hanya sebentar, eh jebulane (ternyata) sama
kira-kira dua jam. Gus Dur tampak begitu sehat dan bergairah, meski konon masih
dalam keadaan sakit” ujar Gus Mus dalam bercerita (hal 1-17).
Memperbincangkan sosok Gus Dur tentu
tidak akan gayeng tanpa mendaras kisah-kisahnya yang unik
maupun perilakunya yang terkesan ganjil mengundang tawa. Namun humor cucu
pendiri NU, Hadharatus Syaikh Hasyim Asyari, ini tentu bukan
humor biasa, melainkan humor seorang jenius yang selalu menyiratkan makna.
Salah satunya humor Gus Dur ketika menjawab persoalan gagasan Negara Islam. Sekitar
tahun 1970-1980-an, Gus Dur diundang oleh Arief Budiman, sosiolog dan tokoh
golput termasyhur era Orde Baru, menjadi pembicara utama dalam perbincangan
ilmiah yang membahas tema seputar hubungan Islam dengan negara, kebangsaan, dan
demokrasi. Seperti biasa, Gus Dur tampil dengan pemikiran-pemikirannya yang
brilian. Satu per satu konsep yang pernah ada, pernah dibicarakan para pemikir
dan cendekiawan Muslim dunia diurainya secara lugas disertai dengan penyampaian
kekuarangan dan kelebihan masing-masing. Sayangnya, uraian Gus Dur berakhir
dengan kesimpulan yang tidak memuaskan para peserta seminar.
Kebingungan
yang dipuncaki oleh sebuah pertanyaan penting kepada Gus Dur “Adakah konsep
atau sistem dan bentuk negara menurut Islam ?” Ditodong dengan pertanyaan
demikian, Gus Dur bukannya bingung, dengan santai ia menjawab “Itu yang belum
aku rumuskan”. (Halaman 82) Bagi sebagian orang, jawaban tersebut mungkin
dianggap hanya sebatas candaan. Namun menurut kacamata kiai Husein jawaban
tersebut sangat diplomatis. Gus Dur boleh jadi hendak mengatakan bahwa Islam
tidak punya konsep politik dan kenegaraan. Islam hanyalah mengajukan
nilai-nilai yang menjadi ruh dari seluruh sistem sosial, politik, ekonomi, dan
kebudayaan.
Gus
Dur dan Gus Mus adalah dua figur unik yang lahir dari rahim pesantren tradisional.
Keduanya, meski dikenal sebagai tokoh agama yang mumpuni namun tidak membatasi
diri terhadap aktivitas, yang bagi sebagian orang dianggap, di luar dunia
pesantren. Interaksi mereka dengan berbagai lapisan masyarakat, komunitas,
etnis dan agama secara langsung mampu memperkenalkan kultur dan identitas
pesantren kepada masyarakat secara lebih luas. Demikian pula dengan kiai
Husein, penulis buku setebal seratus tujuh puluh sembilan halaman ini. Meski
tidak mengenakan gelar “Gus”, namun lelaki asal Cirebon ini berasal dari kultur
yang sama dengan dua Gus di atas. Kiprahnya dalam penyadaraan kesetaraan gender
sudah dikenal luas di Indonesia, bahkan dunia.
Singgih
Aji Prasetyo, penggagas kelompok kerja Teater Plat-K.
Mahasiswa Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang.