Menyimak kembali
makna hari santri
Bulan oktober,
barang tentu menjadi
bulan yang sangat
ditunggu kehadirannya oleh
kaum santri di
seluruh antero tanah
air. Tidak menjadi rahasia umum lagi
kalau di bulan oktober ini, bangsa kita
terutama para santri, akan disibukkan dengan seabrek
kegiatan untuk memperingati Hari Santri
Nasional (HSN).
Merayakan adanya hari santri,
berarti juga wajib
untuk mengetahui sejarah lahirnya. Akan sangat
tidak mulia tentunya
apabila kita memaknai hari santri hanya
sebatas pengakuan sebagai Negara yang mayoritas berwargakan muslim. Lebih-lebih
lagi jika itu hanya
digunakan sebagai hura-hura sehari saja,
lalu setelah itu berlalu
tanpa makna.
Penetapan hari
santri pada tanggal
22 Oktober, oleh presiden Jokowi melalui
Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentu bukan tanpa alasan. Penetapan tersebut merujuk pada peristiwa bersejarah yang dilakukan oleh para santri
dalam upayanya mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dari kaum penjajah.
Para santri dengan segenap caranya sendiri-sendiri membaur menjadi satu kesatuan
yang utuh dan sulit untuk
dihentikan. Gerak para
santri ini didasari
atas kembalinya tentara colonial Belanda yang mengatasnamakan
dirinya NICA (Nederlandsch
Indie Civil Administratie).
Kemudian atas kembalinya
tentara colonial belanda ini lah, KH
Hasyim Ashari (pendiri
Nahdlatul Ulama) kala itu pada 22
Oktober 1945 di
Surabaya menyuarakan resolusi jihad. Berikut isi teks resolusi jihad sebagaimana
yang pernah dimuat
di harian (kedaulatan
rakyat, Yogyakarta, edisi NO. 26 Tahun ke-I, Jumat legi, 26 Oktober
1945).
Pemerintah
Repoeblik, Soepaya mengambi l tindakan jang sepadan. Resoloesi wakil-wakil daerah Nahdlatoel Oelama Seloeroeh
Djawa-Madoera. Bismillahirrochmanir Rochim, Resoloesi : Rapat
besar wakil-wakil daerah (Konsoel-Konsoel) Perhimpoenan Nahdlatoel Oelama seloeroeh
Djawa-Madoera pada tanggal 21-22 October 1945 di
Soerabaja. Mendengar : Bahwa
di tiap-tiap Daerah di seloeroeh Djawa-Madoera ternjata betapa besarnja hasrat Oemmat
Islam dan ‘Alim
Oelama di tempatnja
masing-masing oentoek mempertahankan dan menegakkan AGAMA, KEDAOELATAN NEGARA REPOEBLIK INDONESIA MERDEKA.
Menimbang : a. Bahwa oentoek
mempertahankan dan menegakkan Negara Repoeblik Indonesia menurut hoekoem Agama Islam, termasoek sebagai satoe kewadjiban bagi tiap-tiap orang Islam. b.
Bahwa di Indonesia ini warga negaranja
adalah sebagian besar terdiri dari Oemmat Islam.
Mengingat: 1. Bahwa
oleh fihak Belanda (NICA) dan Djepang jang datang dan
berada di sini
telah banjak sekali
didjalankan kedjahatan dan kekedjaman jang menganggoe
ketentraman oemoem. 2. Bahwa
semoea jang dilakoekan oleh mereka itu dengan maksoed
melanggar kedaoelatan Negara Repoeblik
Indonesia dan Agama, dan ingin
kembali mendjadjah di sini
maka beberapa tempat telah
terdjadi pertempoeran jang mengorbankan beberapa banjak djiwa
manoesia. 3. Bahwa
pertempoeran-pertempoeran itu sebagian besar telah dilakoekan
oleh Oemmat Islam
jang merasa wadjib menoeroet hoekoem Agamanja oentoek mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanja.
4. Bahwa di dalam menghadapai sekalian kedjadian-kedjadian itoe perloe
mendapat perintah dan toentoenan jang njata dari Pemerintah Repoeblik Indonesia jang sesoeai dengan kedjadian
terseboet.
Memoetoeskan : 1. Memohon dengan sangat
kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia soepaja menentoekan soeatoe sikap dan tindakan jang njata
serta sepadan terhadap oesaha-oesaha
jang akan membahajakan
Kemerdekaan dan Agama dan
Negara Indonesia teroetama terhadap fihak Belanda dan kaki
tangannja. 2. Seoapaja
memerintahkan melandjoetkan perdjoeangan bersifat “sabilillah” oentoek tegaknja Negara Repoeblik Indonesia Merdeka dan Agama
Islam. Soerabaja, 22 Oktober
1945.
Resolusi
ini kemudian diikuti dengan adanya
seruan jihad dari KH. Hayim Ashari,
yang mengeluarkan fatwa bahwa,
membela tanah air
dari kaum penjajah
hukumnya fardlu’ain
atau wajib bagi
setiap warga Negara.
Fatwa yang diserukan oleh KH.
Hasyim Ashari ini
begitu membakar semangat kaum santri
di seluruh nusantara pada umumnya
dan terkhusus arek-arek santri Surabaya.
Dengan
kekuatan spiritual yang menjadi
benteng kokoh bagi bekal mereka
untuk berperang ini lah, lalu mereka bahu-membahu untuk menyerang markas Brigade 49 Mahratta
pimpinan Brigadir Jendral Aulbertin Walter Sothern Mallaby. Peristiwa yang terjadi
berturut-turut selama tiga hari yang terhitung dari 27-29 Oktober 1945, menewaskan
Jendral Mallaby dan lebih
dari 2000 pasukan tentara Inggris.
Kematian
Jendral Mallaby pada pertempuran
tersebut membuat pasukan tentara Inggris murka, hingga berujung pada pertempuran
10 November 1945, peristiwa bersejarah pertempuran antara Tentara Indonesia dengan pasukan
Britania Raya.
Mental santri kita.
Setelah kita bercermin pada sejarah
yang begitu membanggakan,
lalu gerak apa yang telah
dilakukan oleh kaum
yang ngakunya santri pada abad ini.
Kita seolah telah kehilangan generasi-generasi yang mantap dalam berkeyakinan
dan kritis dalam
hihup berbangsa.
Sebut saja peristiwa politik yang terjadi
beberapa bulan yang lalu. Bagaimana
santri kita dengan
begitu mudahnya diprovokosi dalam tindakan-tindakan
yang berbau Sara
(suku, agama, ras,
dan antargolongan). Mental kagetan dalam menanggapi sesuatu inilah yang menjadikan santri kita
seolah kehilangan ruhnya.
Ada lagi beberapa waktu yang
lalu, isu kembalinya
PKI (partai komunis Indonesia) sempat menjadi berita hangat
di Negeri ini. Entah dari
mana dan tujuannya
apa, namun nampaknya
isu tersebut juga ditanggapi secara serius oleh
pemangku kekuasaan kita.
Hal ini bisa kita lihat
seruan yang disampaikan
oleh Presiden Jokowi, yang menghimbau
seluruh masyarakat untuk menonton kembali film G30S-PKI.
Begitu pula dengan
Jendral Gatot Nurmantyo
yang mewajibkan seluruh anggota TNI untuk menyimak
penayangan film G30S-PKI.
Lalu bagaimana dengan santri kita?, tentu saja
santri-santri kita juga
ikut berpartisipasi dalam pemutaran
film tersebut. Barang tentu
mereka memaknai sebagai penghormatan kepada kiai-kiai mereka, seperti yang kita
ketahui bahwa pembantaian
yang dilakukan oleh PKI dahulu, juga menyasar pada para
kiai, terlebih yang memiliki
pondok pesantren besar.
Namun ironisnya hal tersebut
tak sepenuhnya masuk dalam
benak dan hati para
santri, tak sedikit pula para santri
yang tidak dapat mengambil
faedah apapun dari
film tersebut. Kebanyakan dari mereka hanya
memaknai film tersebut
sebagai suatu karya
dan hanya untuk
hiburan semata, sungguh ini menjadi mental yang
amat
menyesatkan.
Untuk mengembalikan ruh dan sukma
para santri, tentunya harus diimbangi dengan pemikiran secara dewasa. Tidak perlu menggunakan cara yang muluk-muluk, cukup diawali dengan langkah-langkah kecil. Misalnya dengan membiasakan berdiskusi dengan berbagai kalangan atau lapisan
masyarakat, yang tidak
terbatasi oleh cakupan agama tertentu. Atau pun
dengan kegiatan-kegiatan kreatif keagamaan, yang dapat
memperkokohkan persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa yang beragama.
Kita tunggu saja
gerak dan perubahan mental santri
kita, untuk bangsa
dan agama. Semoga.
Singgih Aji Prasetyo.