Langkah
Kreatif, Sebatas Semboyan Instan
Oleh
: Singgih Aji Prasetyo
Sebagai pembelajar yang mengkaji
bidang Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, langkah kreatif dalam kegiatan
menulis telah menjadi santapan lezat sehari-hari. Menulis juga masuk ke dalam
empat dasar keterampilan berbahasa yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan
menulis. Dalam kamus besar bahasa Indonesia menulis memiliki arti, membuat
huruf (angka dan sebagainya) dengan pena (pensil, kapur, dan sebagainya),
sedang kreatif atau kreatifitas berarti memiliki daya cipta; memiliki kemampuan
untuk mmciptakan. Jadi, dapat diartikan menulis kreatif adalah upaya untuk
menciptakan sebuah naskah berupa huruf-huruf untuk menuangkan suatu gagasan.
Meski bagi anak bahasa menulis
seperti halnya seorang koki yang ahli dalam membuat masakan-masakan yang begitu
lezat, namun seenak apapun masakan itu tentu ada orang yang tidak menyukainya,
bahkan koki itu sendiri. Memang terlihat aneh bila ada koki yang tidak suka
memasak, entah karena ia memang tidak bisa memasak, tidak suka masakannya, atau
bahkan memiliki alergi terhadap masakan tersebut.
Begitu pula yang terjadi pada
anak-anak yang mengkaji bidang bahasa. Meski ini adalah makanan ia sehari-hari,
namun perlu diketahui bahwa tidak semua orang bisa dengan mudah untuk menulis. Menulis tentu memerlukan wawasan yang
sangat luas, memerlukan kreatifitas dan juga gagasan yang cemerlang. Salah satu
hal yang selalu membayang-bayangi seseorang dalam hal menulis adalah harus
memulai dari mana? Kebanyakan orang kesulitan untuk mengawali narasi dalam
tuangan kata-kata yang tentu harus asik untuk dibaca orang lain. Tidak mudah
untuk membuat tulisan yang disukai orang lain. Padahal seseorang biasanya telah
memberikan yang terbaik sebagaimana yang ia bisa dalam tulisan tersebut.
Kesulitan dalam menuliskan
narasi-narasi yang baik ini tentu juga dialami oleh anak bahasa, walaupun pada
akhirnya ia telah bisa menyelesaikan tulisan dengan segala kekurangannya, namun
belum tentu perhargaan sederhana hadir dalam setiap tulisan tersebut. hal ini
lah yang sering menjatuhkan mental Mahasiswa bahasa. Seperti contoh seorang Mahasiswa
yang membuat tulisan dengan susunan bahasa yang amburadul, Dosen tidak
memberikan semangat serta arahan supaya lebih baik, biasanya Dosen malah cenderung
mengejek tulisan tersebut. Sedangkan, apabila ada mahasiswa yang membuat
tulisan yang begitu enak dibaca dengan susunan bahasa yang bagus Dosen malah
meragukan keaslian dari karya Mahasiswa tersebut, bahkan tak jarang juga ada
dosen yang memojokkan Mahasiswanya sampai ia mengakui karya tersebut
benar-benar asli atau plagiarisme.
Mental-mental pendidik yang seperti
inilah yang saya kira menurun terhadap Mahasiswanya. Dapat dibandingkan dengan
pendidik-pendidik dibarat, meski sejelek apapun sebuah karya yang telah dibuat
oleh Mahasiswanya, seorang Dosen tetap akan menyajungnya, memang terlihat
sangat sepele namun ini sangat berpngaruh bagi mental Mahasiswanya yang tidak
akan pernah jatuh.
Berbincang tentang langkah kraeatif
Mahasiswa tentu tidak dapat dilepaskan begitu saja peran dari seorang Dosen.
Begitu pula bagi saya yang begitu membutuhkan bimbingan Dosen menulis kreatif
saya. Tentu saja bukan sekadar pembelajaran-pembelajaran formalitas atau
tugas-tugas dengan tanggung jawab yang terlepas. Seorang Dosen harusnya
memberikan kiat-kiat, teori atau apa saja yang dapat meningkatkan kualitas
tulisan dari Mahasiswanya, bukan hanya memberikan tugas-tugas yang penting Mahasiswanya
menulis dan menulis. Cara berpikir yang salah tentunya, bahkan dapat disebut
sebagai kesahalahan yang sangat besar. Seperti yang telah saya bahas diawal
tadi, jikalau tidak semua anak bahasa itu suka menulis.
Sebuah sudut pandang yang dilakukan
oleh Dosen seperti ini dapat melemahkan sistem pendidikan kita, karena fakta
membuktikan jika hanya semboyan “yang penting menulis dan menulis” tidak dapat
mengembangkan langkah kreatif Mahasiswa dalam menulis. Sebagian besar Mahasiswa
menulis hanya untuk kebutuhan menuntaskan tugas, tulisan-tulisan yang
dihasilkan pun tulisan instan yang tanpa gagasan, tanpa ide di dalamnya, karena
mereka menulis pada batas waktu yang hapir usai. Dan hal seperti ini terlah
terjadi secara berulang-ulang sehingga Mahasiswa tidak bisa mengembangkan
kreatifitasnya dan lebih cenderung bosan dengan kegiatan menulis.
Barang tentu, pengembakan model
pembelajaran ataupun narasi-narasi pembangun kreatifitas perlu dilakukan oleh Dosen
agar pembelajaran lebih mengasikan. Contoh saja seperti Mahasiswa diajak ke
luar ruangan, ke taman, atau ketempat-tempat lainnya. Di sana Mahasiswa disuruh
untuk mengawasi apa yang mereka lihat kemudian menyuruh untuk menarasikannya,
tentu hal ini akan lebih mudah bagi Mahasiswanya dalam mengembangkan sebuah
tulisan. kita tentu sebagai Mahasiswa sudah tidak lagi kagum dengan semboyan
menulis kreatif jika pada kenyataanya tidak ada Dosen dengan pembelajaran yang
kreatif. Andai saja hal ini dilakukan secara bersamaan mungkin menulis akan
lebih mudah untuk dilakukan, dan menulis kreastif tidak hanya menjadi seebuah
semboyan instan. Semoga.
Singgih
Aji Prassetyo,
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Universitas PGRI Semarang.