Sabtu, 03 November 2018

(Esai) Langkah Kreatif, Sebatas Semboyan Instan

Langkah Kreatif, Sebatas Semboyan Instan
Oleh : Singgih Aji Prasetyo

            Sebagai pembelajar yang mengkaji bidang Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, langkah kreatif dalam kegiatan menulis telah menjadi santapan lezat sehari-hari. Menulis juga masuk ke dalam empat dasar keterampilan berbahasa yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Dalam kamus besar bahasa Indonesia menulis memiliki arti, membuat huruf (angka dan sebagainya) dengan pena (pensil, kapur, dan sebagainya), sedang kreatif atau kreatifitas berarti memiliki daya cipta; memiliki kemampuan untuk mmciptakan. Jadi, dapat diartikan menulis kreatif adalah upaya untuk menciptakan sebuah naskah berupa huruf-huruf untuk menuangkan suatu gagasan.
            Meski bagi anak bahasa menulis seperti halnya seorang koki yang ahli dalam membuat masakan-masakan yang begitu lezat, namun seenak apapun masakan itu tentu ada orang yang tidak menyukainya, bahkan koki itu sendiri. Memang terlihat aneh bila ada koki yang tidak suka memasak, entah karena ia memang tidak bisa memasak, tidak suka masakannya, atau bahkan memiliki alergi terhadap masakan tersebut.
            Begitu pula yang terjadi pada anak-anak yang mengkaji bidang bahasa. Meski ini adalah makanan ia sehari-hari, namun perlu diketahui bahwa tidak semua orang bisa dengan mudah untuk  menulis. Menulis tentu memerlukan wawasan yang sangat luas, memerlukan kreatifitas dan juga gagasan yang cemerlang. Salah satu hal yang selalu membayang-bayangi seseorang dalam hal menulis adalah harus memulai dari mana? Kebanyakan orang kesulitan untuk mengawali narasi dalam tuangan kata-kata yang tentu harus asik untuk dibaca orang lain. Tidak mudah untuk membuat tulisan yang disukai orang lain. Padahal seseorang biasanya telah memberikan yang terbaik sebagaimana yang ia bisa dalam tulisan tersebut.
            Kesulitan dalam menuliskan narasi-narasi yang baik ini tentu juga dialami oleh anak bahasa, walaupun pada akhirnya ia telah bisa menyelesaikan tulisan dengan segala kekurangannya, namun belum tentu perhargaan sederhana hadir dalam setiap tulisan tersebut. hal ini lah yang sering menjatuhkan mental Mahasiswa bahasa. Seperti contoh seorang Mahasiswa yang membuat tulisan dengan susunan bahasa yang amburadul, Dosen tidak memberikan semangat serta arahan supaya lebih baik, biasanya Dosen malah cenderung mengejek tulisan tersebut. Sedangkan, apabila ada mahasiswa yang membuat tulisan yang begitu enak dibaca dengan susunan bahasa yang bagus Dosen malah meragukan keaslian dari karya Mahasiswa tersebut, bahkan tak jarang juga ada dosen yang memojokkan Mahasiswanya sampai ia mengakui karya tersebut benar-benar asli atau plagiarisme.
            Mental-mental pendidik yang seperti inilah yang saya kira menurun terhadap Mahasiswanya. Dapat dibandingkan dengan pendidik-pendidik dibarat, meski sejelek apapun sebuah karya yang telah dibuat oleh Mahasiswanya, seorang Dosen tetap akan menyajungnya, memang terlihat sangat sepele namun ini sangat berpngaruh bagi mental Mahasiswanya yang tidak akan pernah jatuh.
            Berbincang tentang langkah kraeatif Mahasiswa tentu tidak dapat dilepaskan begitu saja peran dari seorang Dosen. Begitu pula bagi saya yang begitu membutuhkan bimbingan Dosen menulis kreatif saya. Tentu saja bukan sekadar pembelajaran-pembelajaran formalitas atau tugas-tugas dengan tanggung jawab yang terlepas. Seorang Dosen harusnya memberikan kiat-kiat, teori atau apa saja yang dapat meningkatkan kualitas tulisan dari Mahasiswanya, bukan hanya memberikan tugas-tugas yang penting Mahasiswanya menulis dan menulis. Cara berpikir yang salah tentunya, bahkan dapat disebut sebagai kesahalahan yang sangat besar. Seperti yang telah saya bahas diawal tadi, jikalau tidak semua anak bahasa itu suka menulis.
            Sebuah sudut pandang yang dilakukan oleh Dosen seperti ini dapat melemahkan sistem pendidikan kita, karena fakta membuktikan jika hanya semboyan “yang penting menulis dan menulis” tidak dapat mengembangkan langkah kreatif Mahasiswa dalam menulis. Sebagian besar Mahasiswa menulis hanya untuk kebutuhan menuntaskan tugas, tulisan-tulisan yang dihasilkan pun tulisan instan yang tanpa gagasan, tanpa ide di dalamnya, karena mereka menulis pada batas waktu yang hapir usai. Dan hal seperti ini terlah terjadi secara berulang-ulang sehingga Mahasiswa tidak bisa mengembangkan kreatifitasnya dan lebih cenderung bosan dengan kegiatan menulis.
            Barang tentu, pengembakan model pembelajaran ataupun narasi-narasi pembangun kreatifitas perlu dilakukan oleh Dosen agar pembelajaran lebih mengasikan. Contoh saja seperti Mahasiswa diajak ke luar ruangan, ke taman, atau ketempat-tempat lainnya. Di sana Mahasiswa disuruh untuk mengawasi apa yang mereka lihat kemudian menyuruh untuk menarasikannya, tentu hal ini akan lebih mudah bagi Mahasiswanya dalam mengembangkan sebuah tulisan. kita tentu sebagai Mahasiswa sudah tidak lagi kagum dengan semboyan menulis kreatif jika pada kenyataanya tidak ada Dosen dengan pembelajaran yang kreatif. Andai saja hal ini dilakukan secara bersamaan mungkin menulis akan lebih mudah untuk dilakukan, dan menulis kreastif tidak hanya menjadi seebuah semboyan instan. Semoga.


Singgih Aji Prassetyo, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Universitas PGRI Semarang.

(Puisi) Menalar Negeri

Menalar Negeri

Nalar bukanlah sekadar pertimbangan baik dan buruk
Nalar bersua ketika pengaruh akal sedang terpuruk
Nalar bukan lagi semboyan berpikir logis
Jika kami yang mencoba kritis justru dituding kelompok apatis
Menalar tidak lagi menjadi prinsip utama
Sebab kini siapapun bebas bersuara
Apalagi bagi mereka yang duduk berkuasa
Nalar dikucilkan demi politik kepentingan

kawan
Lihatlah bagaimana gemerlap panggung sandiwara
Yang dibungkus rapi dengan embel-embel empati
Sayang, mereka tak pernah belajar estetika bermain drama
Hingga banyak yang terpingkal geli, dikira anekdot politisi

kawan
Lihatlah bagaimana para kaum yang dianggap elit
Justru mengobral pemikiran yang semakin sempit
Opini menjadi jurus ampuh serangan balik
Membuat tontonan politik semakin menggelitik

Kini sudah saatnya kaum muda mengambil alih peran
Bukan lagi melalui pergerakan dijalan-jalan
Sebab keringat kita telah lama diasingkan
Hanya dianggap teriakan kaum pinggiran

Mari menyeru perlawanan dengan cara lebih elegan
Menalar negeri dengan karya-karya amatiran
Karena jiwa memberontak tetap milik kaum muda
Ketika bangsanya sudah tidak lagi berdaya

Semboyan cinta nalar menjadi salah satu solusi
Atas kegaduhan yang semakin menjadi-jadi
Tak usah mencari “kambing hitam”
Apalagi saling menghantam
Hingga keadaan semakin mencekam

Mari menalar
Karena nalar, negeri penuh cinta
Karena cinta, nalar kita ada


Singgih Aji Prasetyo
Pati, 25 Oktober 2018

(Cerpen) Mbah Mail, Penjaga Pesisir Utara Pantai Jawa

Mbah Mail, Penjaga Pesisir Utara Pantai Jawa
Oleh : Singgih Aji Prasetyo

            Pak Nur Rahmat bergegas menyelusuri jalanan di desanya ketika sayup-sayup suara azan mulai terdengar. Sepeti biasa ia telah ditunggu oleh warga untuk menjadi imam di masjid desa. Fajar masih terbungkus oleh remang-remang kemilau, ayam seketika berhenti berkokok. Seolah sungkem, sendiko dawuh kepada pak Nur Rahmat yang sedang berjalan dengan tenang menuju masjid. Subuh itu suasana terasa damai di sebuah desa di pesisir pantai utara pulau jawa tersebut, atau dalam cakupan lebih luasnya di kota Pati.
Pak Nur Rahmat adalah seorang Polisi yang bertugas di Polres Pati. Selain sebagai Polisi ia juga dikenal sebagai seorang Kiai yang sudah tidak diragukan lagi kealimannya. Meski tidak memiliki pondok pesantren seperti Kiai pada umumnya, namun ia meliki banyak santri bahkan jumlahnya sampai ribuan. Pak Nur Rahmat adalah seorang pengamal tarekat Nasabandiyah,  jenjang keilmuan di atas Syariat bagi orang yang sedang mendalami ilmu agama. Tak mengherankan jika kajian-kajian agamanya begitu dalam dan mudah dipahami banyak orang.
            Sebagai seorang Polisi, tugas menjaga keutuhan Bangsa dan Negara menjadi kewajiban bagi pak Nur Rahmat. Karena pemahamannya atas ilmu agama, ia ditugaskan langsung oleh komandannya di lapas. Memberikan motivasi, pencerahan, dan ilmu agama kepada orang-orang yang berada di tahanan. Pak Nur Rahmat tak pernah sekalipun bersikap menggurui terhadap para tahanan. Seolah ada sisi lain pada dirinya yang begitu mudah untuk menundukkan para berandal-berandal yang berada ditahanan itu. Biasanya selepas para tahanan tersebut  bebas dari hukuman, mereka begitu dekat dengan pak Nur Rahmat, bahkan berlanjut belajar ilmu agama dan menyatakan diri sebagai santri dari pak Nur Rahmat.
            Seperti biasa, jika tidak sedang dinas pak Nur Rahmat keliling untuk mengisi pengajihan-pengajihan. Mulai dari pelosok-pelosok desa, hinnga tengah-tengah kota, dari pengajihan rumahan yang jamaahnya hanya puluhan orang, hingga ke pengajihan-pengajihan akbar yang dihadiiri puluhan ribu orang. Inilah yang membuat nama pak Nur Rahmat dikenal sebagai seorang Kiai besar, Kiai karismatik atas kedalaman ilmu agama yang dibuskus rapi dengan kekuatan kebangsaan.
            Awan tampak begitu tenang di langit. Begitu pun dengan udara, sunyi terbalut dengan gelapnya malam. Waktu menunjukkan pukul satu dini hari, pak Nur Rahmat baru saja selesai mengisi pengajihan di sebuah desa, di selatan kota Pati. Di dalam mobil yang berjalan kencang menembus kedinginan, pak Nur Rahmat kelihatan sedang gelisah. Hatinya seperti diguncang oleh kegundahan.
“mas pelan-pelan mas, nanti kalau ada pertigaan di depan belok kiri ya!” kata pak Nur Rahmat kepada supirnya, sambil menunjuk sebuah desa di hadapan mereka.
“mohon maaf pak Kiai memangnya kita mau kemana?” Tanya sang supir. Ia memang sudah biasa memanggil pak Nur Rahmat dengan sebutan pak Kiai.
“kita mampir dulu ke rumah guru saya, mbah Mail”
            Sang supir pun hanya bisa diam sambil menuruti permintaan pak Nur Rahmat. “mbah Mail, siapa dia?” guman sang supir dalam hati. Sangat mengherankan memang, karena selama dua puluh tahun lebih ia menjadi supir pak Nur Rahmat, ia tak pernah tau jika pak Nur Rahmat memiliki guru bernama mbah Mail. Ia juga tak pernah sekalipun menghantarkan pak Nur Rahmat ke desa tempat mbah Mail itu tinggal.
“berhenti-berhenti, kita sudah sampai” tiba-tiba sang supir dikagetkan oleh pak Nur Rahmat.
“kamu mau tunggu di sini apa ikut masuk?” sambung pak Nur Rahmat
“saya di mobil saja pak Kiai” jawab sang supir.
“ya sudah kamu tunggu saja, sekalian kamu bisa istirahat dulu”
Pak Nur Rahmat bergegas turun dari mobil. Tepat dihadapannya sebuah rumah sederhana dari kayu jati milik mbah Mail.
“tok tok tok, Assalamualaikum” pak Nur Rahmat mengucap salam dengan pelan.
“Assalamualaikum” belum juga ada jawaban. Ia paham sekali, bangrangkali sudah pada tidur. Karena jam ditangannya telah menunjukkan pukul setengah dua malam.
“Assalamualaikum” pak Nur Rahmat mencoba mengucap salam untuk ketiga kalinya.
“Waalaikumsalam” terdengar jawaban samar-samar dari dalam. Namun bukan dari mbah Mail. Ya, itu suara Mustofa anak laki-laki mbah Mail yang barang kali bangun untuk salat tahajud. Sambil membukakan pintu Mustofa dikagetkan oleh sosok orang tinggi besar dan gagah berdiri di hadaapannya.
“owalah pak Kiai, monggo-monggo silahkan masuk, mohon maaf pak Kiai ada apa ya tengah malam kok datang kemari?” Tanya Mustofa dengan sedikit keheranan.
“tidak mengapa le, kebetulan saya baru saja selesai mengisi pengajihan di daerah sini, dan sekadar hanya ingin mampir bertemu dengan mbah Mail”
“mohon maaf pak Kiai, namun abah kalau tengah malam seperti ini tidak bisa diganggu pak Kiai”
“sebentar saja le, saya hanya sekadar ingin melihat mbah Mail”
“sekali lagi mohon maaf pak Kiai, benar-benar tidak bisa ini sudah pesan dari abah”
“saya paham le, namun saya benar-benar ingin bertemu. Saya juga telah menerima surat dari mbah Mail” sambung pak Nur Rahmat dengan agak memaksa.
            Mustofa pun mengalah, dibukalah pintu kamar mbah Mail. Setelah pintu dibuka betapa terkejutnya pak Nur Rahmat. Kamar yang hanya berukuran tiga kali empat meter itu dilihatnya seperti samudra yang begitu luas. Di tengah-tengahnya terlihat mbah Mail sedang bersujud di atas sajadah. Berjubah dan bersorban putih bersih, tepat di atasnya ada germerlap cahaya menembus langit, yang membuat pak Nur Rahmat tidak bisa mengeluarkan satu kata pun.
Sambil terombang-ambing pak Nur Rahmat mencoba mendekati mbah Mail. Dekat dan semakin mendekat, seketika persendian pak Nur Rahmat terasa rontok, urat-uratnya telah tak ada lagi, lemas tanpa daya. Sebab mbah Mail yang berada dihadapannya sedang bersujud tanpa denyut nadi. Yang sedang dilihat oleh pak Nur Rahmat hanyalah jasad dari mbah Mail, lalu di mana ruhnya? Ia pun semakin terkagum-kagum dengan gurunya itu. Setelah beberapa saat melamun pak Nur Rahmat pun mencoba mengingat-ingat isi surat dari mbah Mail. Surat yang ia terima melalui mata bisyaroh-nya.

le anakku Nur Rahmat
Laut sudah tak bisa dikendalikan. Amarahnya sudah tak dapat aku redam. Aku hanya seorang diri mencoba berdamai dengan para malaikat. Doakan aku le, demi anak cucu manusia pesisir pantai utara jawa.
Ismail bin Abdullah”
           
Jiwa pak Nur Rahmat semakin bergetar. Mungkin yang sedang dilakukan oleh mbah Mail itu adalah bentuk negosiasinya dengan para Malaikat. Pak Nur Rahmat hanya bisa meraba-raba pikiran. Tanpa tau apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia memang tak pernah melihat mbah Mail berpakaian rapi seperti itu, apalagi berjubah dan bersorban. Mbah Mail hanyalah orang desa yang dalam kesehariannya justru dianggap nyeleneh oleh para tetangganya.
            Mbah Mail adalah sosok yang nyentrik. Dalam keseharian celana kolor warna hitam telah menjadi ciri khasnya. Ia tak pernah memakai baju atau lebih tepatnya selalu bertelanjang dada. Mbah Mail memang sosok yang misterius dengan segala kemistisannya. Namun meskipun begitu orang-orang yang bertamu dirumahnya adalah Kiai-Kiai besar yang dihormati banyak orang. Tak sedikit pula para berandal dan orang-orang jalanan yang datang bertamu. Semua disambut dengan baik oleh mbah Mail.
            Mbah Mail kecil dikenal sebagai anak yang sangat nakal. Oleh sebab itu lah ia ditaruh di pondok pesantren oleh orang tuanya untuk belajar ilmu agama. Namun mbah Mail tetaplah mbah Mail. Meski telah di pondok pesantren mbah Mail tetaplah anak yang nakal. Ia tak mau salat dan tak mau mengaji. Hingga Kiai pondok pun bingung dengan tingkah mbah Mail ini. Karena kesabarannya telah habis, Kiai pondok itu menghukum mbah Mail untuk bersujud di halaman pondok, dari habis salat isya sampai azan solat subuh. Sambil membaca surat Al-Fatihah tanpa terputus.
            Semalam penuh telah mbah Mail lalui, ketika itu azan salat subuh mulai berkumandang. Kiai pondok bergegas untuk ke masjid sambil berniat menghampiri mbah Mail yang masih bersujud di halaman pondok. Ketika kira-kira berjarak lima meter Kiai itu dikagetkan oleh cahaya yang turun dari langit dan menghantam tubuh mbah Mail. Kiai itu pun terpelanting hingga tak sadarkan diri. Sejak kejadian iu mbah Mail tiba-tiba hafal Al-Quran dan kitab-kitab besar lainnya yang dipelajari di pondok. Kiai pondok itupun terkagum dan berbalik belajar ilmu agama kepada mbah Mail.
            Mbah Mail memang aneh. Tak sedikit orang yang menganggap ilmu yang mbah Mail miliki itu adalah sebuah kesyirikan. Hingga kabar bahwa mbah Mail menyebarkan ilmu agama yang dibungkus oleh kesyirikan terdengar di telinga seorang Habaib asal Jawa Timur. Habaib ini memang dikenal tegas dalam upayanya memberantas penyebar kesyirikan. Sudah ratusan Kiai yang ia labrak karena dakwahnya yang bertentangan dengan syariat.
            Suatu ketika Habaib tersebut berkeinginan kuat datang ke rumah mbah Mail untuk melabraknya. Jarak dari Jawa Timur ke kota Pati yang jauh pun tidak menjadi halangan. Di rumah mbah Mail seolah telah mengetahui siapa yang akan datang. ia pun bersiap-siap. Sebuah balok kayu besar telah digenggamnya karena ia merasa telah mendapatkan sebuah tantangan.
Sesampainya di depan rumah mbah Mail, Habaib itu pun kaget, seperti ada sosok lain yang berada di hadapannya. Mbah Mail tidak terlihat sebagai sebuah wujud, Habaib itu hanya bisa memandang sebuah cahaya hinggaa matanya tidak kuat lagi. Sambil menangis dan bersujud di kaki mbah Mail Habaib itu pun segera meminta maaf. Begitulah mbah Mail dengan segala kelebihannya.
Satu minggu telah berlalu. Diambilnya remot oleh pak Nur Rahmat untuk menyalakan TV kantor. Dilihatnya berita di Indosiar. Gempa berkekuatan 9,3 skala Richter telah mengguncang perairan utara laut Sumatra. Gempa tersebut mengakibatkan Tsunami dengan tinggi gelombang mencapai 10 meter. Ratusan ribu orang dikabarkan menghilang. Berita ini menjadi duka Naasional bagi bangsa Indonesia.
            Setelah berita selesai, dimatikannya TV kantor tersebut. Dengan tergesa-gesa pak Nur Rahmat segera menuju ke rumah mbah Mail. Seperti biasa mbah Mail selalu mengetahui terlebih dahulu siapa yang akan datang bertamu. Belum sempat berucap satu kata pun pak Nur Rahmat telah di sambut oleh mbah Mail yang berbicara dengan dingin. Masih dengan ciri khasnya berkolor hitam dan bertelanjang dada, sambil menyulut rokok kretek mbah Mail berkata “ketahuilah le, para Malaikat tidak jadi menurunkannya di utara pantai jawa”.

-Singgih Aji Prasetyo, Mahasiswa Fakutas Pendidikan Bahasa dan Seni. Universitas PGRI Semarang. Penggagas Kelompok Kerja Teater Plat-K.