Mbah
Mail, Penjaga Pesisir Utara Pantai Jawa
Oleh
: Singgih Aji Prasetyo
Pak Nur Rahmat bergegas menyelusuri
jalanan di desanya ketika sayup-sayup suara azan mulai terdengar. Sepeti biasa
ia telah ditunggu oleh warga untuk menjadi imam di masjid desa. Fajar masih
terbungkus oleh remang-remang kemilau, ayam seketika berhenti berkokok. Seolah sungkem, sendiko dawuh kepada pak Nur
Rahmat yang sedang berjalan dengan tenang menuju masjid. Subuh itu suasana
terasa damai di sebuah desa di pesisir pantai utara pulau jawa tersebut, atau
dalam cakupan lebih luasnya di kota Pati.
Pak
Nur Rahmat adalah seorang Polisi yang bertugas di Polres Pati. Selain sebagai
Polisi ia juga dikenal sebagai seorang Kiai yang sudah tidak diragukan lagi
kealimannya. Meski tidak memiliki pondok pesantren seperti Kiai pada umumnya,
namun ia meliki banyak santri bahkan jumlahnya sampai ribuan. Pak Nur Rahmat
adalah seorang pengamal tarekat Nasabandiyah, jenjang keilmuan di atas Syariat bagi
orang yang sedang mendalami ilmu agama. Tak mengherankan jika kajian-kajian
agamanya begitu dalam dan mudah dipahami banyak orang.
Sebagai seorang Polisi, tugas
menjaga keutuhan Bangsa dan Negara menjadi kewajiban bagi pak Nur Rahmat. Karena
pemahamannya atas ilmu agama, ia ditugaskan langsung oleh komandannya di lapas.
Memberikan motivasi, pencerahan, dan ilmu agama kepada orang-orang yang berada
di tahanan. Pak Nur Rahmat tak pernah sekalipun bersikap menggurui terhadap
para tahanan. Seolah ada sisi lain pada dirinya yang begitu mudah untuk
menundukkan para berandal-berandal yang berada ditahanan itu. Biasanya selepas
para tahanan tersebut bebas dari
hukuman, mereka begitu dekat dengan pak Nur Rahmat, bahkan berlanjut belajar
ilmu agama dan menyatakan diri sebagai santri dari pak Nur Rahmat.
Seperti biasa, jika tidak sedang
dinas pak Nur Rahmat keliling untuk mengisi pengajihan-pengajihan. Mulai dari
pelosok-pelosok desa, hinnga tengah-tengah kota, dari pengajihan rumahan yang
jamaahnya hanya puluhan orang, hingga ke pengajihan-pengajihan akbar yang dihadiiri
puluhan ribu orang. Inilah yang membuat nama pak Nur Rahmat dikenal sebagai
seorang Kiai besar, Kiai karismatik atas kedalaman ilmu agama yang dibuskus
rapi dengan kekuatan kebangsaan.
Awan tampak begitu tenang di langit.
Begitu pun dengan udara, sunyi terbalut dengan gelapnya malam. Waktu
menunjukkan pukul satu dini hari, pak Nur Rahmat baru saja selesai mengisi
pengajihan di sebuah desa, di selatan kota Pati. Di dalam mobil yang berjalan
kencang menembus kedinginan, pak Nur Rahmat kelihatan sedang gelisah. Hatinya
seperti diguncang oleh kegundahan.
“mas
pelan-pelan mas, nanti kalau ada pertigaan di depan belok kiri ya!” kata pak
Nur Rahmat kepada supirnya, sambil menunjuk sebuah desa di hadapan mereka.
“mohon
maaf pak Kiai memangnya kita mau kemana?” Tanya sang supir. Ia memang sudah
biasa memanggil pak Nur Rahmat dengan sebutan pak Kiai.
“kita
mampir dulu ke rumah guru saya, mbah Mail”
Sang supir pun hanya bisa diam
sambil menuruti permintaan pak Nur Rahmat. “mbah Mail, siapa dia?” guman sang
supir dalam hati. Sangat mengherankan memang, karena selama dua puluh tahun
lebih ia menjadi supir pak Nur Rahmat, ia tak pernah tau jika pak Nur Rahmat
memiliki guru bernama mbah Mail. Ia juga tak pernah sekalipun menghantarkan pak
Nur Rahmat ke desa tempat mbah Mail itu tinggal.
“berhenti-berhenti,
kita sudah sampai” tiba-tiba sang supir dikagetkan oleh pak Nur Rahmat.
“kamu
mau tunggu di sini apa ikut masuk?” sambung pak Nur Rahmat
“saya
di mobil saja pak Kiai” jawab sang supir.
“ya
sudah kamu tunggu saja, sekalian kamu bisa istirahat dulu”
Pak
Nur Rahmat bergegas turun dari mobil. Tepat dihadapannya sebuah rumah sederhana
dari kayu jati milik mbah Mail.
“tok
tok tok, Assalamualaikum” pak Nur Rahmat mengucap salam dengan pelan.
“Assalamualaikum”
belum juga ada jawaban. Ia paham sekali, bangrangkali sudah pada tidur. Karena
jam ditangannya telah menunjukkan pukul setengah dua malam.
“Assalamualaikum”
pak Nur Rahmat mencoba mengucap salam untuk ketiga kalinya.
“Waalaikumsalam”
terdengar jawaban samar-samar dari dalam. Namun bukan dari mbah Mail. Ya, itu
suara Mustofa anak laki-laki mbah Mail yang barang kali bangun untuk salat
tahajud. Sambil membukakan pintu Mustofa dikagetkan oleh sosok orang tinggi
besar dan gagah berdiri di hadaapannya.
“owalah
pak Kiai, monggo-monggo silahkan
masuk, mohon maaf pak Kiai ada apa ya tengah malam kok datang kemari?” Tanya
Mustofa dengan sedikit keheranan.
“tidak
mengapa le, kebetulan saya baru saja
selesai mengisi pengajihan di daerah sini, dan sekadar hanya ingin mampir bertemu
dengan mbah Mail”
“mohon
maaf pak Kiai, namun abah kalau tengah malam seperti ini tidak bisa diganggu
pak Kiai”
“sebentar
saja le, saya hanya sekadar ingin
melihat mbah Mail”
“sekali
lagi mohon maaf pak Kiai, benar-benar tidak bisa ini sudah pesan dari abah”
“saya
paham le, namun saya benar-benar
ingin bertemu. Saya juga telah menerima surat dari mbah Mail” sambung pak Nur
Rahmat dengan agak memaksa.
Mustofa pun mengalah, dibukalah
pintu kamar mbah Mail. Setelah pintu dibuka betapa terkejutnya pak Nur Rahmat.
Kamar yang hanya berukuran tiga kali empat meter itu dilihatnya seperti samudra
yang begitu luas. Di tengah-tengahnya terlihat mbah Mail sedang bersujud di
atas sajadah. Berjubah dan bersorban putih bersih, tepat di atasnya ada germerlap
cahaya menembus langit, yang membuat pak Nur Rahmat tidak bisa mengeluarkan
satu kata pun.
Sambil
terombang-ambing pak Nur Rahmat mencoba mendekati mbah Mail. Dekat dan semakin
mendekat, seketika persendian pak Nur Rahmat terasa rontok, urat-uratnya telah
tak ada lagi, lemas tanpa daya. Sebab mbah Mail yang berada dihadapannya sedang
bersujud tanpa denyut nadi. Yang sedang dilihat oleh pak Nur Rahmat hanyalah
jasad dari mbah Mail, lalu di mana ruhnya? Ia pun semakin terkagum-kagum dengan
gurunya itu. Setelah beberapa saat melamun pak Nur Rahmat pun mencoba
mengingat-ingat isi surat dari mbah Mail. Surat yang ia terima melalui mata bisyaroh-nya.
“le anakku Nur Rahmat
Laut
sudah tak bisa dikendalikan. Amarahnya sudah tak dapat aku redam. Aku hanya
seorang diri mencoba berdamai dengan para malaikat. Doakan aku le, demi anak cucu manusia pesisir
pantai utara jawa.
Ismail
bin Abdullah”
Jiwa
pak Nur Rahmat semakin bergetar. Mungkin yang sedang dilakukan oleh mbah Mail
itu adalah bentuk negosiasinya dengan para Malaikat. Pak Nur Rahmat hanya bisa
meraba-raba pikiran. Tanpa tau apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia memang tak
pernah melihat mbah Mail berpakaian rapi seperti itu, apalagi berjubah dan
bersorban. Mbah Mail hanyalah orang desa yang dalam kesehariannya justru dianggap
nyeleneh oleh para tetangganya.
Mbah Mail adalah sosok yang nyentrik.
Dalam keseharian celana kolor warna hitam telah menjadi ciri khasnya. Ia tak
pernah memakai baju atau lebih tepatnya selalu bertelanjang dada. Mbah Mail
memang sosok yang misterius dengan segala kemistisannya. Namun meskipun begitu
orang-orang yang bertamu dirumahnya adalah Kiai-Kiai besar yang dihormati
banyak orang. Tak sedikit pula para berandal dan orang-orang jalanan yang
datang bertamu. Semua disambut dengan baik oleh mbah Mail.
Mbah Mail kecil dikenal sebagai anak
yang sangat nakal. Oleh sebab itu lah ia ditaruh di pondok pesantren oleh orang
tuanya untuk belajar ilmu agama. Namun mbah Mail tetaplah mbah Mail. Meski
telah di pondok pesantren mbah Mail tetaplah anak yang nakal. Ia tak mau salat
dan tak mau mengaji. Hingga Kiai pondok pun bingung dengan tingkah mbah Mail
ini. Karena kesabarannya telah habis, Kiai pondok itu menghukum mbah Mail untuk
bersujud di halaman pondok, dari habis salat isya sampai azan solat subuh.
Sambil membaca surat Al-Fatihah tanpa terputus.
Semalam penuh telah mbah Mail lalui,
ketika itu azan salat subuh mulai berkumandang. Kiai pondok bergegas untuk ke
masjid sambil berniat menghampiri mbah Mail yang masih bersujud di halaman
pondok. Ketika kira-kira berjarak lima meter Kiai itu dikagetkan oleh cahaya
yang turun dari langit dan menghantam tubuh mbah Mail. Kiai itu pun
terpelanting hingga tak sadarkan diri. Sejak kejadian iu mbah Mail tiba-tiba
hafal Al-Quran dan kitab-kitab besar lainnya yang dipelajari di pondok. Kiai
pondok itupun terkagum dan berbalik belajar ilmu agama kepada mbah Mail.
Mbah Mail memang aneh. Tak sedikit
orang yang menganggap ilmu yang mbah Mail miliki itu adalah sebuah kesyirikan.
Hingga kabar bahwa mbah Mail menyebarkan ilmu agama yang dibungkus oleh
kesyirikan terdengar di telinga seorang Habaib asal Jawa Timur. Habaib ini
memang dikenal tegas dalam upayanya memberantas penyebar kesyirikan. Sudah
ratusan Kiai yang ia labrak karena dakwahnya yang bertentangan dengan syariat.
Suatu ketika Habaib tersebut
berkeinginan kuat datang ke rumah mbah Mail untuk melabraknya. Jarak dari Jawa
Timur ke kota Pati yang jauh pun tidak menjadi halangan. Di rumah mbah Mail seolah
telah mengetahui siapa yang akan datang. ia pun bersiap-siap. Sebuah balok kayu
besar telah digenggamnya karena ia merasa telah mendapatkan sebuah tantangan.
Sesampainya
di depan rumah mbah Mail, Habaib itu pun kaget, seperti ada sosok lain yang
berada di hadapannya. Mbah Mail tidak terlihat sebagai sebuah wujud, Habaib itu
hanya bisa memandang sebuah cahaya hinggaa matanya tidak kuat lagi. Sambil
menangis dan bersujud di kaki mbah Mail Habaib itu pun segera meminta maaf.
Begitulah mbah Mail dengan segala kelebihannya.
Satu
minggu telah berlalu. Diambilnya remot oleh pak Nur Rahmat untuk menyalakan TV
kantor. Dilihatnya berita di Indosiar. Gempa berkekuatan 9,3 skala Richter telah mengguncang perairan utara
laut Sumatra. Gempa tersebut mengakibatkan Tsunami dengan tinggi gelombang
mencapai 10 meter. Ratusan ribu orang dikabarkan menghilang. Berita ini menjadi
duka Naasional bagi bangsa Indonesia.
Setelah berita selesai, dimatikannya
TV kantor tersebut. Dengan tergesa-gesa pak Nur Rahmat segera menuju ke rumah
mbah Mail. Seperti biasa mbah Mail selalu mengetahui terlebih dahulu siapa yang
akan datang bertamu. Belum sempat berucap satu kata pun pak Nur Rahmat telah di
sambut oleh mbah Mail yang berbicara dengan dingin. Masih dengan ciri khasnya
berkolor hitam dan bertelanjang dada, sambil menyulut rokok kretek mbah Mail
berkata “ketahuilah le, para Malaikat
tidak jadi menurunkannya di utara pantai jawa”.
-Singgih
Aji Prasetyo, Mahasiswa Fakutas Pendidikan Bahasa
dan Seni. Universitas PGRI Semarang. Penggagas Kelompok Kerja Teater Plat-K.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar