Ketika aku masih waras/ aku selalu selalu berpikir untuk menjadi gila/
Mungkin enak/ ya bertelanjang dada dan bertelanjang pemikiran/
Menimang-nimang boneka dengan tembang anakku sayang/ atau menggelendeng kaleng-kaleng kosong yang sudah tetangga buang/
Aku tak pernah tau apa yang kau katakan/ aku hanya tertawa ha ha ha ha ha, saat kau bilang gila itu edan/
Kau bilang jangan gila/ karena kita sudah merdeka/ tetapi tikus-tikus pengerat kau pelihara demi menjaga nama dan kepentingan kelompokmu saja/
aku pun menjadi gila
Kau bilang jangan gila karena kita ini sudah sejahtera/ tetapi aku masih melihat nyawa-nyawa kecil berkeliaran di perempatan jalan dengan tangan menengadah penuh harapan/
aku pun semakin menggila/
Kau bilang jangan gila karena kita banyak yang menyayangi/ tetapi aku masih melihat anak kelas 3 sd gantung diri dengan sarung yang ia pakai untuk mengaji/
Gilaku semakin menjadi-jadi/
Kau bilang jangan gila karena kita hidup hanya untuk allah ya robbi/ tetapi aku masih mendengar berita mbah kyai kawin lagi dengan santrinya yang sudah ia hamili/
Bagaimana aku tidak gila/ saat kau bilang jangan gila karena hidup kita dilindungi negara/ tetapi aku masih melihat anak muda yang hamil di luar nikah itu/ diperkosa oleh ayah mertuanya/
Kau kembali menyuruhku jangan gila karena kita hidup dengan toleransi/ tetapi aku masih mendengar kelompok-kelompok apatis menyuarakan aspirasi dengan orasi-orasi kosong tak berisi/
Kau berbisik,
Aku mendengarkan,
kau diam,
Aku mengingatkan,
Kau berteriak,
Aku meredam,
Lalu ku pasrahkan semua pada keadaan/
malah kini kau yang edan/
Akhirnya aku pun tersadar saat kau bilang jangan gila karena kita berada di Indonesia/ aku pun tak jadi menjadi gila tetapi batinku semakin menggila/
hahahahahaha ternyata beginilah gila/ hahahaahahaha ternyata beginilah Indonesia/
Karya Singgih aji prasetyo. Mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni. Universitas PGRI Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar